Minggu, 17 Januari 2016

SURAT TERBUKA UNTUK TUAN TERORIS DI MANAPUN KALIAN BERADA

Maaf tak mengucap salam, karena aku tidak tahu apa agamamu dan apa yang kau percayai

Kitab apa yang kau baca hingga kau merasa paling benar, kitab mana yang mengajarkan membunuh orang diluar peperangan..?

Pemimpin mana yang kau ikuti hingga langkah yang kau ambil melampaui ajaran para nabi ?

Ibu mana yang melahirkanmu hingga mati rasa belas kasihmu ?

Ayah mana yang membimbingmu sehingga rasa ketakutan yg kau cipta dalam aksimu ?

Makanan apa yang mengalir ketubuhmu sehingga kau merasa terpilih sebagai mesin pencabut nyawa.

Pakaian apa yang kau pakai hingga kau merasa gagah, tak tersentuh neraka

Kalau kau pikir tindakanmu akan mencapai mimpimu, kupastikan jauh dari itu…tumpuan kebencian terarah pada kelompokmu…

Bagaimana mimpimu membangun peradaban tanpa ada simpati dari manusia ?

Alih2 menegakkan kebenaran…yang lahir justru antipati..ketakutan..makin lama generasi ini makin jauh dari agama..takut dengan agama…saat itu tiba, kau ikut bertanggungjawab mengatheis kan dunia ini.

Pasti kau bukan representasi islam, pasti juga bukan representasi nasrani, hindu, budha…

Agama yang kutahu mengajarkan cinta kasih sesama manusia, kelembutan, dan kesabaran

Sembah pada Tuhan seharusnya menghindarkan perbuatan keji dan munkar.

Broadcast surat terbuka untuk teroris ini sebanyak- banyaknya, setidaknya teroris berkurang satu.

Salam Perang Lawan Teroris Indonesiaku JayaNKRI HARGA MATI

https://mobile.facebook.com/story.php?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C6956812325

Rabu, 25 November 2015

Stek Tumbuhan

Di ruang perpustakaan pribadinya, sedang terjadi diskusi yang serius antara Gus Dur dengan salah seorang anaknya yang kepingin jadi anggota LKIR.

Gus Dur: “Memangnya apa yang bisa kamu sumbangkan untuk LKIR sekolahmu?”
Anak: “Sebuah penemuan dari penelitian yang saya lakukan sendiri.”
Gus Dur: “Apa itu?”
Anak: “Penggabungan (stek) tiga jenis tumbuhan yang sangat berlainan spesiesnya. Dan ternyata berhasil.”
Gus Dur: “Apa tiga jenis tumbuhan itu …?”
Anak: “Kelapa, singkong, dan tebu.”
Gus Dur: (terdiam, sepertinya tidak percaya) “Lalu apa yang terjadi dengan ketiga tumbuhan itu?’
Anak: “Jadi gethuk"

Jumat, 20 November 2015

Menebak Usia Mumi

Ini cerita Gus Dur beberapa tahun yang lalu, sewaktu jaman Orde Baru. Cerita tentang sayembara menebak usia mumi di Giza, Mesir. Puluhan negara diundang oleh pemerintah Mesir, untuk mengirimkan tim ahli Palaeo Antropologinya yang terbaik.
Akan tetapi, pemerintah Indonesia lain dari yang lain, namanya juga jaman Orde Baru yang waktu itu masih bergaya represif misalnya banyaknya penculikan para aktivis. Makanya pemerintah mengirimkan seorang aparat yang komandan intel.

Setelah sejumlah negara maju untuk menebak usai mumi, giliran delegasi Indonesia yang maju. Pak Komandan bertanya kepada panitia, "bolehkah dia memeriksa mumi itu di ruang tertutup?". “Boleh, silahkan,” jawab panitia.

Lima belas menit kemudian, dengan tubuh berkeringat Pak Komandan Intel itu keluar dan mengumumkan temuannya kepada tim juri. “Usia mumi ini enam ribu dua ratus empat puluh lima tahun enam bulan tujuh hari,” katanya dengan lancar.
Ketua dan seluruh anggota tim juri terbelalak dan saling berpandangan, heran dan kagum jawaban itu tepat sekali.

Menjelang kembali ke Indonesia, Pak Komandan Intel dikerumuni wartawan dalam dan luar negeri di lobby hotel. “Anda luar biasa,” kata mereka. “Bagaimana cara Anda tahu dengan persis usia mumi itu?”Pak Komandan dengan enteng menjawab,“Saya gebuki, ngaku dia!”

Dikutip dari https://hermansuryantoadaapahariini.wordpress.com/2010/01/01/guyon-guyon-ala-gusdur/?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C5729611130

Senin, 19 Oktober 2015

Abu Nawas Ditampar Karena Secangkir Kopi

Kisah Abu Nawas hadir kembali dengan tema-tema yang tak pernah lekang oleh waktu. Abu Nawas tidak menyangka akan menerima tamparan di pipi oleh teman karibnya yang jauh di pinggir kerajaan. Berkali-kali ditampar ketika akan menyeruput kopi panas di hadapannya mulai dari selepas shalat isyak sampai pertengahan malam. Kurang mengetahui juga apa maksud dari tamparan itu. Namun, bukanlah Abu Nawas yang merupakan orang kepercayaan Raja Harun kalau dia tak bisa menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Otak pun digunakan dengan cerdas sehingga pada akhirnya terkuak juga kenapa dia ditampar berkali-kali tiap kali akan meminum seteguk kopi panas. Bagaimana kisahnya? Sumak yuk kisahnya yang lucu tapi sangat mendidik siapa saja sekalipun orang tua. Pada sore itu, Abu Nawas sedang berkunjung ke kawan karibnya yang ada di pelosok desa yang merupakan orang Yahudi. Setibanya di rumah sahabatnya itu, dia melihat permainan musik, ada yang bermain kecapi, ada yang menari dan sebagainya. Terlihat mereka semua bersuka cita. Pada saat tamu mulai kehausan, tuan rumah rupanya menyuguhkan kopi dan masing-masing mendapatkan secangkir kopi, termasuk juga Abu Nawas. Ketika Abu Nawas hendak meminum kopi itu, ia ditampar oleh si Yahudi. Namun karena sudah terlanjur larut dalam kegembiraan, hal tersebut tak ia hiraukan dan diangkatnya lagi cangkirnya, tapi lagi-lagi ditampar. Ternyata tamparan yang diterima Abu Nawas pada malam itu cukup banyak sampai acara selesai sekitar jam 2 dini hari. Di tengah jalan, baru terpikir oleh Abu Nawas tentang kejadian yang dialaminya itu. "Jahat benar perangai Yahudi itu, main tampar seenaknya saja. Kelakuan seperti itu tak bisa dibiarkan berlangsung di Baghdad. Tapi apa dayaku hendak melarangnya?" pikirnya dalam hati. "Ahaa... aku ada akal," guman Abu Nawas. Keesokan harinya, Abu Nawas menghadap Raja Harun Ar-Rasyid di istana. "Tuanku, ternyata di negeri ini ada suatu permainan yang belum pernah hamba kenal, sangat aneh sekali, "lapor Abu Nawas. "Dimana tempatnya, "tanya Raja Harun yang penasaran. "Di tepi hutan, Baginda, "kata Abu Nawas. Kemudian Raja Harun mengajak Abu Nawas untuk melihatnya. Akhirnya selepas shalat isyak, Abu Nawas dan raja pergi ke rumah Yahudi dengan mengenakan pakaian bisa ala rakyat jelata. Dan benar juga, sesampainya di sana, si Yahudi sedang menggelar nyanyian dan tarian, serta tamunya pun cukup banyak. Abu Nawas dan Raja Harun diperilahkan masuk untuk bergabung. Si Yahudi tak mengenali kehadiran raja. Dia memaksa sang raja untuk menari. Namun sang raja menolaknya dengan halus. Dan saat itulah ada suara tamparan, dan tak menyangka sang raja ditampar pipinya oleh tuan rumah. Raja baru sadar bahwa ia sedang dipermainkan oleh Abu Nawas. Namun karena sang raja sedang menyamar, ia tak bisa memiliki kemampuan untuk melawan orang sebanyak itu. Diam-diam Abu Nawas meningghalkan tempat tersebut, meninggalkan rajanya sendirian, agar sang raja dapat mengetahui akan kelakuan rakyatnya sendiri. Terpaksa raja pun menuruti ajakan tuan rumah untuk menari hingga tubuhnya yang tambun itu berpeluh. Pada saat itulah tuan rumah mulai menyuguhkan kopi. Ketika sang raja hendak menyeruput kopi di hadapannya, tiba-tiba saja pipinya ditampar oleh tuan rumah dan hal tersebut berulang saat hendak meminumnya lagi. Sehingga raja tak sempat meminum kopi walaupun hanya seteguk saja. Pada keesokan harinya, raja memanggil Abu Nawas untuk menghadap. "Wahai Abu Nawas, baik sekali perbuatanmu tadi malam. Engkau membiarkanku dipermalukan seperti itu, "ujar raja. "Ampun Baginda, hamba hanya ingin agar Baginda melihat langsung, "kata Abu Nawas. Setelah meminta maaf, Abu Nawas menceritakan bahwa ia juga mengalami hal yang serupa sehari sebelumnya. Namun ketika di meleporkan, tak ada jaminan yang bakal membuat raja percaya begitu saja. Kemudian raja memanggil si Yahudi, diinterogasi dan dijawab oleh Yahudi dengan entengnya. "Jika saya mengetahui yang hadir adalah Tuanku, saya takkan mungkin melakukan hal itu, "ujar Yahudi. Tentu saja hal itu tak bisa dibenarkan sama sekali dan membuat raja menjadi marah. Karena tak boleh seorangpun yang memiliki perangai buruk seperti itu. Dan sebagai balasannya, sang raja memasukkan si Yahudi ke penjara untuk beberapa waktu lamanya.

http://kisahpetualanganabunawas.blogspot.com/2015/08/abu-nawas-ditampar-karena-secangkir-kopi.html?m=1

Sabtu, 05 September 2015

Dalil-dalil Islam Nusantara

(Senin, 31/08/2015 20:01)
Oleh: M. Kholid Syeirazi

Muktamar ke-33 NU di Jombang, 1-5 Agustus 2015 telah usai. Tema Muktamar, “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia,” telah memantik pembicaraan hangat dan, dalam beberapa hal, sengaja disalahpahami oleh mereka yang pahamnya salah. Mereka membuat idiom tandingan: Mengislamkan Nusantara. Dalam struktur bahasa Indonesia, menambahkan awalan ‘me’ dan akhiran ‘kan’ berfungsi, salah satunya, membentuk kata kerja transitif bermakna “membuatnya jadi” seperti dalam kata “melebarkan,” artinya membuat sesuatu jadi lebar. Dengan demikian, secara semantik, “mengislamkan Nusantara” berarti membuat Nusantara menjadi Islam.

Sepintas kalimat ini tepat, karena tugas setiap Muslim adalah mendakwahkan Islam dan menyampaikan risalah Nabi (ballighû ‘annî walaw âyat). Dulu, yang dilakukan Wali Songo juga mengislamkan Nusantara. Namun, jika digali lebih dalam, idiom “Islam Nusantara” dan “Mengislamkan Nusantara” berangkat dari dua pendekatan yang berbeda. Islam Nusantara adalah pengakuan tentang basis sosial dan budaya pemeluk Islam di Nusantara. Islam didakwahkan oleh para juru dakwah, kemudian diterima, diyakini, dan diamalkan dalam wadah budaya pemeluknya yang khas. Budaya, sebagaimana dilakukan Wali Songo, dijadikan sebagai instrumen dakwah dan sarana “menyusupkan” ajaran Islam secara bertahap. Kearifan dan kesediaan Wali Songo menyampakan dakwah Islam dalam wadah budaya telah membuat proses Islamisasi Nusantara menjadi salah satu warisan Islamisasi paling mengagumkan dalam sejarah. Islam tidak datang melalui kampanye militer dan konflik kekerasan terhadap para penganut agama dan budaya lokal. Islam tumbuh, tersebar, dan bersenyawa di bumi Nusantara dengan karakter budayanya. Dengan cara seperti inilah dulu Islam berdialektika dengan budaya Arab, tempat risalah Islam turun dan diajarkan Rasulullah. Beberapa bentuk tradisi Arab yang baik dipertahakan, sebagian disyariatkan, sebagian diperbolehkan bukan sebagai syariat. Yang tidak baik dikoreksi, digantikan dengan bentuk yang sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini tercermin dari proses tasyri’ syariat shalat, puasa, haji, mu’âmalah, munâkahah, dll.

Para penolak Islam Nusantara, termasuk pengusung idiom “mengislamkan Nusantara,” umumnya menolak dialektika Islam sebagai agama universal dengan budaya pemeluk Islam yang partikular. Mereka ingin menjiplak persis apa yang berasal dari Rasulullah, baik agama maupun budayanya. Islam sebagai agama dan tradisi Arab sebagai budaya hendak diboyong semua sebagai ajaran yang berlaku universal. Cara pandang seperti ini cenderung ahistoris dan anakronis.

Dalil-dalil Islam Nusantara

Pasti tidak cukup ruang untuk membeberkan semua dalil tentang kesahihan Islam Nusantara, karena itu harus diringkas secara sederhana ke dalam tiga hal saja.  Pertama, Islam Nusantara lahir dari paham bahwa Islam adalah ajaran universal yang ditampung dalam kultur/budaya manusia yang partikular. Ajaran tauhid, eskatologi, kenabian, akhlak, dan pokok-pokok syariat adalah ajaran universal, tetapi pengamalannya selalu gabungan dari elemen universal dan partikular. Universal karena Islam adalah agama samawi yang turun dari langit, partikular karena pelaku agama adalah manusia dan manusia adalah makhluk yang berbudaya. Untuk hal-hal yang universal yang bersifat qath’i (kategoris), harus diterima apa adanya. Tetapi, untuk hal-hal yang partikular yang bersifat dhonny (hipotetis), tidak harus dijiplak tanpa proses adaptasi. Contoh, perintah shalat adalah universal, tetapi busana yang dikenakan adalah partikular. Shalat mengenakan jubah plus sorban sama bobotnya dengan batik plus songkok, tergantung hati dan kualitas khusyuknya. Perintah zakat adalah universal, tetapi jenis makanan pokok yang dikeluarkan dalam zakat fitrah adalah partikular. Korma atau gandum sama bobotnya dengan beras, tergantung hati dan ikhlasnya. Perintah puasa adalah  universal, tetapi soal menu buka puasa adalah partikular. Berbuka dengan korma sama bobotnya dengan kolak pisang, tergantung niat dan derajat halalnya. Haji adalah perintah universal, tetapi sarana menjalankan ibadah haji adalah partikular. Berhaji mengendarai onta sama nilainya dengan naik pesawat atau sarana transportasi lain, tergantung niat dan takwanya. Islam Nusantara memilah yang universal (kulliyah) dengan yang partikular (juziyyah). Ajaran universal diterima apa adanya, sedangkan yang partikular dikawinkan dengan ekspresi budaya lokal.

Kedua, ada sementara anggapan bahwa Islam adalah agama yang syumûl (komprehensif). Semua aspek kehidupan manusia telah diatur oleh Islam dan bisa dirujukkan kepada teks Qur’an atau sunnah (ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi). Karena itu, tidak usah menambah atau mengurangi sebab tindakan itu berarti bid’ah. Asumsi ini tidak benar. Al-Qur’an adalah kitab petunjuk yang bersifat umum, mengatur hal-hal prinsip, dan tidak masuk ke hal yang bersifat teknis. Perintah shalat diulang berkali-kali, tetapi tata cara shalat tidak ada di dalam Al-Qur’an. Begitu juga tata cara puasa, zakat, dan haji. Lebih-lebih tata cara bernegara. Apa yang berasal dari Nabi juga tidak semua berhubungan dengan agama. Hal-hal yang bersifat keseharian Nabi seperti busana, pola makan, dan budaya Arab lain tidak mutlak diikuti. Yang wajib diikuti adalah sunnah Nabi yang bersifat agama. Yang harus diteladani adalah akhlaknya, bukan ekspresi budayanya. Hal-hal yang terkait urusan dunia, diserahkan kepada timbangan baik-buruk umatnya.

Pedomannya jelas, yaitu hadis Nabi riwayat Muslim: “Saya ini manusia. Jika aku perintahkan kalian dalam urusan agama, maka patuhilah! Namun, jika aku memerintahkan sesuatu berdasarkan pendapatku, maka aku ini manusia biasa.” (HR. Muslim dari Rafi’ ibn Khudayj). Dalam riwayat lain berbunyi: “Jika aku berasumsi, maka jangan kalian mengambilnya begitu saja. Namun, jika aku berkata yang bersumber dari Allah swt, maka patuhilah karena aku tidak pernah mendustakan Allah.” (HR. Muslim dari Abi Thalhah). Dalam riwayat lain berbunyi: “Kalian lebih mengerti urusan dunia kalian.” (HR. Muslim dari Anas).  Oleh Imam Nawâwi penulis Syarah Muslim, rangkaian hadits ini dimasukkan dalam bab berjudul “Kewajiban mematuhi ucapan Nabi yang bersifat syara’, bukan hal-hal yang terkait dengan kehidupan dunia berdasarkan pendapat pribadi” (lihat Sahîh Musim bi Syarh Nawâwi, juz 10, hal. 116-118).

Jika menyimak sîrah Nabi, akan banyak ditemukan fakta bahwa selain dalam urusan agama, Nabi adalah pemimpin yang mendengar nasehat dan pendapat para sahabat. Pendapat Nabi kadang dikritisi sahabatnya dan Nabi menerima kritik itu dan mengikutinya seperti dalam kasus Hubâb ibn Mundzir terkait siasat Perang Badar (baca Sîrah Ibn Hisyâm, hal. 296). Ada juga pendapat Nabi dikritisi sahabat, tetapi Nabi menolak kritik itu dan kemudian dikoreksi  oleh Allah yang membenarkan pendapat sahabat seperti dalam kasus Umar ibn Khattab RA dalam urusan pampasan perang yang diabadikan dalam Surat al-Anfâl (ayat 67-68) dan dalam urusan Abdullâh ibn Ubay ibn Salûl yang diabadikan dalam Surat at-Tawbah (ayat 84) dan Surat al-Munâfiqûn (ayat 6)(lihat Tafsîr al-Qurthûby, juz 8, hal. 47 dan 200-201).

Dalil-dalil ini menegaskan, apa yang berasal dari Rasulullah ada yang bersifat agama ada yang bersifat budaya, ada yang berdasarkan wahyu dan ada yang berdasarkan pendapat beliau pribadi. Yang bersifat agama dan berdasarkan wahyu mutlak harus dipatuhi, yang bersifat budaya dan pendapat pribadi tidak harus diikuti. Perspektif ini menjelaskan keharusan membedakan agama dan budaya. Arabisasi tidak sama dengan Islamisasi, sebab Islam tidak identik dengan Arab dan Arab tidak indikatif Islam. Mengenakan jubah, sorban, dan memelihara jenggot kemudian merasa sudah lebih Islam ketimbang yang lain adalah keliru, karena hal itu masuk rumpun budaya, bukan agama. Islam Nusantara mendukung pengamalan Islam dalam ekspresi budaya lokal. Bid’ah hanya berlaku dalam lingkup ibadah mahdlah. Di luar ibadah mahdlah, tidak ada bid’ah dalam pengertian kullu bid’atin dlalâlah (setiap bid’ah sesat). Bid’ah dalam ibadah muthlaqah (ilmu, budaya, teknologi) justru harus digalakkan. Berdasarkan hujjah ini, NU mengarifi slametan yang kemudian ditransformasi menjadi tahlilan. NU mempertahankan bentuk, tetapi mengganti isi. Inilah cara dakwah Wali Songo, khususnya Sunan Kalijogo, yang sangat canggih menjalankan substansialisasi Islam.

Ketiga, Islam Nusantara adalah ekspresi rasa syukur terhadap kehadiran Islam di bumi Nusantara melalui pendekatan budaya, yang nyaris tanpa pertumpahan darah. Pendekatan budaya ini membuat Islam bisa mendapat tempat dan proses Islamisasi berlangsung sangat cepat. Pengaruh Hindu-Budha selama tiga setengah abad berhasil disisihkan dalam tempo kurang dari sebad. Hasilnya, proses Islamisasi di Nusantara menjadi salah satu warisan Islamisasi paling mengagumkan dalam sejarah. Islam yang datang dengan karakter damai ini, yang mau bersanding dengan budaya lokal, melahirkan karakter Islam yang moderat, ramah, dan toleran. Karakter ‘Islam ramah’ ini menjadi semakin relevan untuk disyukuri dan dikembangkan di tengah ‘Islam marah’ yang sedang mengamuk Tunisia, mengoyak Mesir, menghancurkan Libya, memecah Yaman, dan memporakporandakan Suriah, Irak, Palestina, Afghanistan, Sudan, dan Somalia. Karena itu, tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia” semakin menemukan relevansi dan kesahihannya.

* Penulis adalah sekretaris jenderal PP ISNU

Dikutip dari : www.nu.or.id

Selasa, 25 Agustus 2015

Islamku, Islam Anda, Islam Kita

(Selasa, 28/04/2015 09:01)

Oleh KH Abdurrahman Wahid

Saat membaca kembali makalah-makalah yang dikirimkan kepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian buah seminar dan dipaparkan dalam sekian banyak diskusi, penulis mendapati pandangan-pandangannya sendiri tentang Islam yang tengah mengalami perubahan-perubahan besar. Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran “Barat”, seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam gerakan lkhwanul Muslimin di Jombang, dalam tahun-tahun 50- an. Kemudian, penulis mempelajari dengan mendalam Nasionalisme Arab di Mesir pada tahun-tahun 60-an, dan Sosialisme Arab (al-isytirâkiyyah al-’arâbiyyah) di Baghdad. Sekembali di tanah air, di tahun-tahun 70-an penulis melihat Islam sebagai jalan hidup (syarî’ah) yang saling belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama, serta berbagai pandangan dari agama-agama lain.

Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal sekaligus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesamaan pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengembaraan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain.

Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa memiliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.

***

Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai satu-satunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiritual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal-hal irrasional itu benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.

Tradisionalisme agama, pada umumnya, mengambil pola ini dan hal itulah yang dimaksudkan oleh Marshall McLuhan seorang pakar komunikasi dengan istilah “happening”. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana selalu memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pasuruan, tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang mengendarai truk ke kota tersebut dengan mengenakan seragam masing-masing, yang dibeli dari hasil keringat sendiri, serta tak lupa membawa makanan sendiri dari rumah. Setelah bermain rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka pun lalu pulang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orang-rombongan lain.

Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan kematian Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa diumumkankan, orang datang berduyun-duyun ke alun-alun Tuban, membawa tikar/koran dan minuman sendiri, untuk sekedar mendengarkan uraian para penceramah tentang diri beliau. Di sini, pihak panitia hanya cukup mengundang para penceramah itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan meja-kursi ala kadarnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak penting benar, adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pikiran pengunjung memang demikian, dan itu adalah kenyataan —yang dalam pandangan mereka “tidak terbantahkan”. Nah, “kebenaran” yang diperoleh seperti ini adalah sesuatu yang didasarkan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal inilah yang oleh penulis disebutkan sebagai “Islam Anda”, yang kadar penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.

***

Sementara itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian hari, kita sampai pada keharusan-keharusan rasional untuk dilaksanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai “muslim yang baik”. Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan” seperti itu. Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”, karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedangkan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya karena ia menyatakan pikiran-pikiran tentang masa depan Islam.

Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Islam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia dirumuskan, karena perumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama tersebut, sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di manapun mereka berada.

Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksakan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan segala sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi. Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa yang dinamakan “ideologi-lslam”, yang oleh orang-orang tersebut hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. Karenanya, kalau kita ingin melestarikan “Islamku” maupun “Islam Anda”, yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideologi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah hal-hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, melalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai “Islam Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksaan pandangan? Cukup jelas, bukan?

*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute)

Artikel diambil dari : www.nu.or.id

Islamku, Islam Anda, Islam Kita

(Selasa, 28/04/2015 09:01)

Oleh KH Abdurrahman Wahid

Saat membaca kembali makalah-makalah yang dikirimkan kepada sejumlah penerbitan, disampaikan dalam sekian buah seminar dan dipaparkan dalam sekian banyak diskusi, penulis mendapati pandangan-pandangannya sendiri tentang Islam yang tengah mengalami perubahan-perubahan besar. Semula, penulis mengikuti jalan pikiran kaum ekstrimis yang menganggap Islam sebagai alternatif terhadap pola pemikiran “Barat”, seiring dengan kesediaan penulis turut serta dalam gerakan lkhwanul Muslimin di Jombang, dalam tahun-tahun 50- an. Kemudian, penulis mempelajari dengan mendalam Nasionalisme Arab di Mesir pada tahun-tahun 60-an, dan Sosialisme Arab (al-isytirâkiyyah al-’arâbiyyah) di Baghdad. Sekembali di tanah air, di tahun-tahun 70-an penulis melihat Islam sebagai jalan hidup (syarî’ah) yang saling belajar dan saling mengambil berbagai ideologi non-agama, serta berbagai pandangan dari agama-agama lain.

Pengembaraan penulis itu, menyembulkan dua hal sekaligus: di satu pihak, pengalaman pribadi penulis yang tidak akan pernah dirasakan atau dialami orang lain, dan sekaligus kesamaan pengalaman dengan orang lain yang mengalami pengembaraan mereka sendiri. Apakah selama pengembaraan itu berakhir pada ekletisme yang berwatak kosmopolitan, sedangkan pada orang lain pengembaraan mereka membawa hasil sebaliknya, tidaklah menjadi soal bagi penulis. Pengalaman pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri yang berbeda dari pemikiran orang lain.

Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya adalah sesuatu yang khas, yang dapat disebutkan sebagai “Islamku”, hingga karenanya watak perorangan seperti itu patut dipahami sebagai pengalaman pribadi, yang patut diketahui orang lain tanpa memiliki kekuatan pemaksa. Kalau pandangan ini dipaksakan juga, akan terjadi dislokasi pada diri orang lain, yang justru akan membunuh keindahan semula dari pandangannya sendiri.

***

Dalam berbeda pandangan, orang sering memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai satu-satunya kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain. Cara seperti ini tidaklah rasional, walaupun kandungan isinya sangat rasional. Sebaliknya, pandangan spiritual yang irrasional dapat ditawarkan kepada orang lain tanpa paksaan, dengan dalih itu pengalaman pribadi yang tidak perlu diikuti orang. Kebenarannya baru akan terbukti jika hal-hal irrasional itu benar-benar terjadi dalam kehidupan nyata.

Tradisionalisme agama, pada umumnya, mengambil pola ini dan hal itulah yang dimaksudkan oleh Marshall McLuhan seorang pakar komunikasi dengan istilah “happening”. Ini bisa dilihat, misalnya, dalam setiap tahun para pemain rebana selalu memperagakan kebolehan mereka di arena Masjid Raya Pasuruan, tanpa ada yang mengundang. Kebanyakan mereka datang mengendarai truk ke kota tersebut dengan mengenakan seragam masing-masing, yang dibeli dari hasil keringat sendiri, serta tak lupa membawa makanan sendiri dari rumah. Setelah bermain rebana selama lima sampai sepuluh menit, mereka pun lalu pulang tanpa mendengarkan pagelaran rebana orang-rombongan lain.

Hal yang sama juga terjadi dalam haul/peringatan kematian Sunan Bonang di Tuban dalam setiap tahunnya. Tanpa diumumkankan, orang datang berduyun-duyun ke alun-alun Tuban, membawa tikar/koran dan minuman sendiri, untuk sekedar mendengarkan uraian para penceramah tentang diri beliau. Di sini, pihak panitia hanya cukup mengundang para penceramah itu, memberitahukan Muspida dan menyediakan meja-kursi ala kadarnya demi sopan santunnya kepada para undangan. Tidak penting benar, adakah Sunan Bonang pernah hidup? Dalam pikiran pengunjung memang demikian, dan itu adalah kenyataan —yang dalam pandangan mereka “tidak terbantahkan”. Nah, “kebenaran” yang diperoleh seperti ini adalah sesuatu yang didasarkan pada keyakinan, bukan dari sebuah pengalaman. Hal inilah yang oleh penulis disebutkan sebagai “Islam Anda”, yang kadar penghormatan terhadapnya ditentukan oleh banyaknya orang yang melakukannya sebagai keharusan dan kebenaran.

***

Sementara itu, dalam menelaah nasib Islam di kemudian hari, kita sampai pada keharusan-keharusan rasional untuk dilaksanakan ataupun dijauhi, jika kita ingin dianggap sebagai “muslim yang baik”. Kesantrian, dalam arti pelaksanaan ajaran Islam oleh seseorang, tidak menentukan “kebaikan” seperti itu. Banyak santri tidak memperoleh predikat “muslim yang baik”, karena ia tidak pernah memikirkan masa depan Islam. Sedangkan santri yang kurang sempurna dalam menjalankan ajaran agama sering dianggap sebagai “muslim yang baik”, hanya karena ia menyatakan pikiran-pikiran tentang masa depan Islam.

Pandangan seperti ini, yang mementingkan masa depan Islam, sering juga disebut “Islam Kita”. Ia dirumuskan, karena perumusnya merasa prihatin dengan masa depan agama tersebut, sehingga keprihatinan itu sendiri mengacu kepada kepentingan bersama kaum muslimin. Suatu kesimpulan dalam “Islam Kita” ini mencakup “Islamku” dan “Islam Anda”, karena ia berwatak umum dan menyangkut nasib kaum muslimin seluruhnya, di manapun mereka berada.

Kesulitan dalam merumuskan pandangan “Islam Kita” itu jelas tampak nyata di depan mata. Bukankah pengalaman yang membentuk “Islamku” itu berbeda isi dan bentuknya dari “Islam Anda”, yang membuat sulitnya merumuskan “Islam Kita”? Di sini, terdapat kecenderungan “Islam Kita” yang hendak dipaksakan oleh sementara orang, dengan wewenang menafsirkan segala sesuatu dipegang mereka. Jelas, pemaksaan kehendak dalam bentuk pemaksaan tafsiran itu bertentangan dengan demokrasi. Dan dengan sendirinya, hal itu ditolak oleh mayoritas bangsa. Nah, pemaksaan kehendak itu sering diwujudkan dalam apa yang dinamakan “ideologi-lslam”, yang oleh orang-orang tersebut hendak dipaksakan sebagai ideologi negeri ini. Karenanya, kalau kita ingin melestarikan “Islamku” maupun “Islam Anda”, yang harus dikerjakan adalah menolak Islam yang dijadikan ideologi negara melalui Piagam Jakarta dan yang sejenisnya. Bisakah hal-hal esensial yang menjadi keprihatinan kaum muslimin, melalui proses yang sangat sukar, akhirnya diterima sebagai “Islam Kita”, dengan penerimaan suka rela yang tidak bersifat pemaksaan pandangan? Cukup jelas, bukan?

*) Diambil dari Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, 2006 (Jakarta: The Wahid Institute)

Artikel diambil dari : www.nu.or.id